"SEKILAS SEJARAH HARI BELA NEGARA"
Kota
Bukittinggi semula merupakan pasar (pekan) bagi masyarakat Agam Tuo. Kemudian
setelah kedatangan Belanda, kota ini menjadi kubu pertahanan mereka untuk
melawan kaum Padri. Pada tahun 1825, Belanda mendirikan benteng di salah satu
bukit yang dikenal sebagai benteng Fort de Kock, sekaligus menjadi tempat
peristirahatan opsir-opsir Belanda yang berada diwilayah jajahannya. Pada masa
pemerintahan Hindia-Belanda, kawasan ini selalu ditingkatkan perannya dlam
ketatanegaraan yang kemudian berkembang menjadi sebuah stadsgemeente (kota) dan
berfungsi sebagai ibu kota Afdeeling Padangche Bovenlanden dan Onderafdeeling
Oud Agam.
Pada
masa pendudukan Jepang, Bukittinggi dijadikan sebagai pusat pengendalian
pemerintahan militernya untuk kawasan Sumatera, bahkan sampai ke Singapura dan
Thailand. Kota ini menjadi tempat kedudukan komandan militer ke-25 kempetai, di
bawah pimpinan Mayor Jendral Hirono Toyoji.
Pada
masa itu, kota ini berganti nama dari
Stradsgemeente Fort de Kock menjadi Bukittinggi Si Yaku Sho yang daerahnya
diperluas dengan memasukkan nagari-nagari sekitarnya seperti Sianok Anam Suku,
Gadut, Kapau, Ampang, Gadang Batu Taba, dan Bukit Batabuah.
Setelah
kemerdekaan Indonesia, berdasarkan ketetapan Gubernur Provinsi Sumatera Nomor
391 tanggal 9 Juni 1947, Bukittinggi ditetapkan sebagai ibu Kota Provinsi
Sumatera dengan gubenurnya. Pada masa mempertahankan kemerdekaan Indonesia,
kota Bukittinggi berperan sebagai kota perjuangan dan ditunjuk sebagai ibu Kota
Negara Indonesia setelah Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda atau dikenal dengan
Pemerintahan Darurat Republik Indonesia yang dibentuk pada 19 Desember 1948 di
Bukittingi, Suatera Barat oleh Syafruddin Prawiranegara.
Hari
Bela Negara merupakan hari bersejarah bagi Bangsa Indonesia yang diperingati setiap
tanggal 19 Desember, untuk memperingati deklerasi Pemerintahan Darurat
Repbuplik Indonesia oleh Mr. Sjafruddin Prawiranegara di Sumatera Barat pada
tahun 19 Desember 1948. Keputusan peringatan Hari Bela Negara ini ditetapkan
oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui keppres No.28.
Awal
mula Hari Bela negara diprakarsai oleh Sjafruddin Prawiranegara di Sumatera
Barat dengan pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) pada 19 Desember
1948.
Pada
masa itu, Sjafruddin mendeklarasikan berdirinya PDRI. Dasar dibentuknya PDRI
karena ibukota Yogyakarta diduduki Belanda. Pun Presiden Soekarno, Wakil
Presiden Mohammad Hatta, dan beberapa menteri ditangkap Belanda. Momen itu
kelak disebut sebagai Agresi Militer Belanda. Pada 19 Desember 1948, di Bukittinggi,
Sjafruddin mengunjungi Teuku Mohammad Hasan, Gubernur Sumatera untuk
merundingkan situasi terkini. Bersama beberapa tokoh lain, mereka
mendeklarasikan PDRI.
Beberapa
jam sebelumnya Soekarno-Hatta ditangkap digelar sidang kabinet di Yogyakarta.
Dua keputusan dihasilkan. Pertama, Soekarno dan Hatta tetap ditinggal di Yogya
meski menghadapi risiko penangkapan. Kedua, memberi mandat kepada Menteri
Kemakmuran Sjafruddin Prawinegara yang sedang berada di Sumatera untuk
membentuk pemerintah Republik Darurat.
“Pembentukan PDRI oleh
Sjafruddin didasarkan pada inisiatifnya sendiri” tulis Deliar Noer dalam
Muhammad Hatta, karena hasil rapat kabinet itu tak pernah ia terima. Para
petinggi RI dan staf keburu ditahan Belanda.
Pada 22 Desember 1948, berkumpul tokoh pimpinan republik seperti Sjafruddin Prawiranegara, Teuku Mohammad Hassan, Sutan Mohammad Rasjid, Kolonel Hidayat, Lukman Hakim, Ir. Indracahya, Ir. Mananti Sitompul, Maryono Danubroto, Direktur BNI A. Karim, Rusli Rahim, dan Latif.
Mereka kemudian menyusun organisasi PDRI, dengan Sjafruddin sebagai ketua PDRI/Menteri Pertahanan/Menteri Penerangan/Menteri Luar Negeri ad interim. Selain itu, Teuku Mohammad Hassan, Sutan Mohammad Rasjid, Lukman Hakim, Ir Mananti Sitompul, Ir. Indracahya.
Pada 18 Desember 2006, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Keppres No 28 Tahun 2006 yang menetapkan 19 Desember, tanggal dibentuknya PDRI, sebagai Hari Bela Negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar